PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI WILAYAH AMBALAT MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL
PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI WILAYAH AMBALAT MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL
Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki batas wilayah laut berdasarkan pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang selanjutnya diratifikasi oleh pemerintah menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 pulau dengan luas 2/3 wilayahnya merupakan lautan. Dari pulau-pulau tersebut terdapat beberapa pulau terluar dengan berbagai potensi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti berbagai potensi sumber daya alam tersebut adalah Blok Ambalat yang terletakdi laut Sulawesi atau Selat Makasar milik dengan luas 15.235 kilometer persegi, diperkirakan mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun ke depan.[1]
Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki batas wilayah laut berdasarkan pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang selanjutnya diratifikasi oleh pemerintah menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 pulau dengan luas 2/3 wilayahnya merupakan lautan. Dari pulau-pulau tersebut terdapat beberapa pulau terluar dengan berbagai potensi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti berbagai potensi sumber daya alam tersebut adalah Blok Ambalat yang terletakdi laut Sulawesi atau Selat Makasar milik dengan luas 15.235 kilometer persegi, diperkirakan mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun ke depan.[1]
Wilayah
Blok Ambalat merupakan milik Indonesia, hal ini berdasarkan bukti
penandatanganan Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia pada tanggal
27 Oktober 1969, yang ditandatangani di Kuala Lumpur yang kemudian diratifikasi
pada tanggal 7 November 1969.[2]
Hal inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Blok Ambalat berada di bawah
kepemilikan Indonesia. Seperti yang terjadi dalam kasus sipadan & ligitan
bahwa Malaysia percaya blok ambalat juga bisa dimiliki/masuk ke wilayahnya,
perairan ambalat pada zamannya presiden SBY beliau menggunakan teori schelling
yaitu dengan cara menakut-nakuti lawan. Blok Ambalat yang secara geografis
langsung berbatasan langsung dengan negara Malaysia dan kaya akan potensi
sumber daya alam menjadikan Blok Ambalat menjadi rawan konflik. untuk melakukan
klaim atas sengketa kepemilikan terhadap Blok Ambalat, kesesuaian kalim
Malaysia terhadap perbatasan Ambalat sesuai dengan UNCLOS 1982, cara
penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Malaysia diperbatasan wilayah
Ambalat menurut UNCLOS 1982 dan untuk mengetahui langkah-langkah hukum yang
dilakukan Indonesia dalam menghadapi klaim Malaysia atas perbatasan Ambalat. Pada tanggal 21 Febuari 2005. Di Takat
Unarang (nama resmi karang unarang) sebanyak 17 pekerja Indonesia (TKI) ditangkap
oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka, angkatan laut Malaysia mengejar
nelayan Indonesia keluar ambalat. Kemudian 3 Juni 2009, kiris blok ambalat
antara pemerintahan Indonesia dan Malaysia terus memanas. Sebanyak 13 kali
kapal dan pesawat ankatan tantara Malaysia memasuki wilayah kedaulatan
Indonesia di ambalat di usir oleh kapal perang TNI AL, hal ini mengundang keseriusan bagi Indonesia
untuk menegakan kedaulatan di blok ambalat, sebab itu DPR bersama parlemen
Belanda mengadakan pertemuan untuk membahas kerja sama pemenuhan kebutuhan
kapal perang canggih untuk pertahanan keamanan dan menjaga kedaulatan NKRI. Dalam hal tersebut adanya belence of fower
antara Indonesia dengan Malaysia yaitu perimbangan kekuatan dalam segi militer
agar adanya kedamaian melalui teori
realisme dengan adanya militer perang sebagai fungsi alat perdamaian dan
security dilemma yaitu adanya rasa curiga atau saling menakut-nakuti disisi
militer.
Dalam hukum internasiononal publik, dikenal
dua macam sengketa internasional, yaitu sengketa hukum (legal or judical
disputes) dan sengketa politik (political or nonjusticiable disputes).[3]
Dan Penyelesaian secara diplomatik
(Negosiasi, penyidikan , mediasi Konsiliasi). Dan penyelesaian secara hukum
(Arbritase, Pengadilan ).[4]
A. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Internasional Secara Damai
1. Negosiasi
Negosiasi
adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua
digunakan oleh manusia. Cara penyelesaian
melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa yang diselesaikan melalui
cara ini tanpa publisitas atau perhatian publik.[5]
2. Pencarian fakta
Penyelesaian sengketa bergantung pada
penguraian fakta para pihak mengenai apa masalah yang tidak disepakati. Oleh
sebab itu, pemastian kedudukan fakta yang sebenarnya dianggap sebagai bagian
penting dari prosedur penyelesaian sengketa.
Dengan demikian para pihak yang bersengketa dapat memperkecil masalah
sengketanya dengan menyelesaikannya sengketa melalui metode pencarian fakta
yang menimbulkan persengketaan. [6]
3. Jasa-jasa baik
Jasa-jasa baik
merupakan cara penyelesaian sengketa melelui atau dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak
menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi yaitu mempertemukan para pihak
sedemikian rupa sehingga para pihak mau duduk bersama, dan bernegosiasi.[7]
4. Mediasi
Mediasi adalah
adanya pihak ketiga yaitu mediator.
Biasanya mediator dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupaya
mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. 7
5. Konsiliasi
Dengan
cara penyelesaian mengenai kondisi dilakukan oleh pihak yaitu lembaga atau
komisi yang tidak mengikat yang
bertujuan untuk tidak menimbulkan masalah yang bisa muncul kembali. Komisi
konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc
yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh
para pihak, namun putusannya tidak mengikat para pihak.[8]
6. Arbitrase
Penyelesaian
sengketa melalui Arbitrase merupakan penyerahan sengketa secara sukarela kepada
pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan yang lebih mengikat atau
bersifat permanen. yaitu penyerahan kepada arbritrase suatu sengketa yang telah
lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbritrase dalam suatu perjanjian,
sebelum sengketa lahir, orang yang dipilih melakukan arbitrase disebut arbitrator
atau arbiter. [9]
7. Pengadilan internasional
pengadilan
internasional merupakan alternative penyelesaian sengketa selain cara-cara di
atas adalah melalui pengadilan. biasanya ditempuh apabila cara-cara
penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil. Pengadilan tersebut dapat dibagi
dalam dua katagori, yaitu pengadilan permanen (International Court of Justice)
dan pengadilan ad hoc
atau pengadilan khusus.[10]
Cara
kedua yaitu dengan mekanisme ASC dan Mekanisme ARF (ASEAN Regional Forum).
Penyelesaian
Sengketa Blok Ambalat Antara Indonesia dengan Malaysia berdasarkan undang-undang tersebut selanjutnya
Malaysia mendeklarasikan secara sepihak Peta Malaysia 1979 pada tanggal 21
Desember 1979. Selanjutnya Pada bulan Desember 1979 Malaysia mengeluarkan Peta
Baru dengan batas terluar klaim maritim yang sangat eksesif di Laut Sulawesi.
Peta tersebut secara jelas memasukkan kawasan dasar laut sebagai bagian dari
Malaysia yang kemudian disebut Blok Ambalat oleh Indonesia. Hanya Malaysia
sendiri yang mengetahui garis pangkal dan titik pangkal untuk menentukan batas
wilayahnya. Peta 1979 yang dikeluarkan pemerintah Malaysia tersebut tidak hanya
mendapat protes Indonesia saja tetapi juga dari Filipina, Singapura, Thailand,
Tiongkok, Vietnam, karena dianggap sebagai upaya atas perebutan wilayah negara
lain. [11]
Ditinjau dari hukum laut
internasional, Malaysia bukanlah negara Kepulauan Malaysia hanya sebagai negara
pantai, oleh karena itu tidak dibenarkan menarik garis pangkal demikian sebagai
penentuan batas laut wilayah dan landas kontinennya. Malaysia hanyalah negara
pantai biasa menurut United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982 yang
menyatakan bahwa Malaysia hanya diperbolehkan menarik garis pangkal biasa (normal
baselines) atau garis pangkal lurus (Straight
Baselines) apabila memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu
terdapat deretan pulau atau karang di hadapan daratan pantainya dan harus
mempunyai ikatan kedekatan dengan wilayah daratan Sabah untuk tunduk pada rezim
hukum perairan pedalaman sesuai dengan pasal 5 KHL 1958 tentang Laut Teritorial
dan Contiguous Zone dan sesuai dengan
pasal 7 KHL 1982.[12]
Sehubungan dengan Peta Malaysia 1979 yang mendapat banyak protes dari
negara-negara tetangga dan dunia internasional sesungguhnya peta tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum.[13]
Jika
Malaysia berpendapat bahwa ‘tiap pulau berhak mempunyai laut territorial, zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri’, maka hal tersebut menyalahi
UNCLOS pasal 121, hal itu dapat dibenarkan. Sedangkan menurut Konvensi hukum
laut, sebuah negara pantai (negara yang wilayah daratannya secara langsung
bersentuhan dengan laut) berhak atas zona maritim laut teritorial, ZEE, dan
landas kontinen sepanjang syarat-syarat (jarak dan geologis) memungkinkan. Dalam
peta 1979 Malaysia tersebut diumumkan lebar laut teritorialnya 12 mil laut yang
diukur dengan garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut hukum laut
1958 dengan tindakan tersebut Malaysia merugikan negara disekitarnya karena
garis pangkal dan titik pangkal untuk menentukan batas wilayahnya hanya
diketahui oleh Malaysia sendiri. berdasarkan
sejarah wilayah tersebut sejak zaman penjajah Belanda. Indonesia adalah negara
Kepulauan berdasarkan Deklarasi Djuanda tahun 1957 dan deklarasi UNCLOS 1982
antara lain di antara pulau-pulau Indonesia tidak ada laut bebas, dan sebagai
Negara Kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines)
dari titiktitik terluar pulau-pulau terluar.
Menurut UNCLOS, Pulau Borneo (yang
padanya terdapat Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam) berhak atas laut
teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Di sebelah timur Borneo,
bisa ditentukan batas terluar laut teritorial yang berjarak 12 mil dari garis
pangkal, kemudian garis berjarak 200 mil yang merupakan batas ZEE demikian
seterusnya untuk landas kontinen. Zona-zona yang terbentuk ini adalah hak dari
daratan Borneo. Maka secara sederhana bisa dikatakan bahwa yang di bagian
selatan adalah hak Indonesia dan di utara adalah hak Malaysia. Tentu saja,
dalam hal ini, perlu ditetapkan garis batas yang membagi kawasan perairan
tersebut. Garis itu melalui Pulau
Sebatik, sebuah pulau kecil di ujung timur Borneo menjadi garis yang sudah di
tetapkan Indonesia dan Malaysia, pada lokasi lintang 4° 10’ (empat derajat 10
menit) lintang utara. Garis inilah yang
akan menentukan “pembagian” kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dan Malaysia
atas kawasan maritim di Laut Sulawesi, termasuk Blok Ambalat. Perlu
diperhatikan bahwa ’adil’ tidak selalu berarti sama jarak atau equidistance.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa status hak
berdaulat atas Ambalat belum sepenuhnya
jelas.
Meski demikian, pada landas kontinen
(dasar laut) Laut Sulawesi memang sudah terjadi eksplorasi sumber daya laut
berupa pemberian konsesi oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1960an kepada
perusahaan asing yang tidak pernah diprotes secara langsung oleh Malaysia
sampai dengan tahun 2002. Bagi Indonesia, batas-batas blok konsesi yang sudah
ada sejak tahun 1960an dan tidak ditolak oleh Malaysia tentu akan menjadi
pegangan atau acuan utama dalam menetapkan batas maritim di Laut Sulawesi.
Sementara itu, Malaysia yang kini menjadi pemilik sah Sipadan dan Ligitan bukan
tidak mungkin akan mengambil keuntungan dari posisi kedua pulau tersebut. Meski
Malaysia bukan negara kepulauan seperti Indonesia, secara teoritis Sipadan dan
Ligitan tetap berhak atas kawasan maritim seperti dinyatakan dalam UNCLOS,
Pasal 121. Namun demikian, tetap ada kemungkinan Indonesia menolak memberikan
peran penuh terhadap kedua pulau tersebut sehingga tidak terlalu besar
pengaruhnya terhadap klaim Malaysia. Ada kemungkinan Indonesia akan
berargumentasi bahwa pulau berukuran kecil seperti Sipadan dan Ligitan
semestinya tidak memberikan efek yang tidak proporsional pada garis batas
maritim antara Indonesia dan Malaysia. Dalam negosiasi, hal seperti ini sangat
penting dan tentu sudah menjadi pertimbangan tim Indonesia. Seperti dikemukakan
sebelumnya, Ambalat hanya terkait dengan dasar laut (landas kontinen) saja,
tidak ada hubungannya dengan tubuh air. Opsi garis yang dibicarakan dalam seksi
ini adalah garis batas maritim untuk dasar laut. Sementara itu, Indonesia dan
Malaysia juga perlu menyelesaikan batas maritim untuk perairannya, yang dalam
hal ini termasuk dalam rejim ZEE. Jika Malaysia dan Indonesia memilih
menetapkan garis batas tunggal maka satu garis akan membagi dasar laut
sekaligus airnya. Secara praktis, garis semacam ini akan menentukan batas
kewenangan untuk eksploitasi minyak/gas di dasar laut sekaligus ikan di
perairannya. Opsi seperti ini sangat menguntungkan ditinjau dari segi
kepraktisan pengelolaan sumberdaya alam dan telah diadopsi di banyak kasus yang
melibatkan delimitasi multi zona.[14]
Batas maritim antara Indonesia dan Australia di Laut Timor, misalnya, menganut
prinsip ini. Batas landas kontinen (dasar laut) yang disepakati tahun 1971 dan
1972 antara Indonesia dengan Australia berbeda dengan batas ZEE (tubuh air)
yang ditetapkan tahun 1997[15]
. Akibatnya, di suatu kawasan tertentu, dasar lautnya adalah kewenangan
Australia sedangkan airnya menjadi kewenangan Indonesia. Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi
antara Indonesia dan Malaysia, kedua negara memilih untuk menggunakan metode negotiation
atau perundingan diplomatis sebagai
langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan kedua negara negara melalui perwakilan-perwakilan resmi. Praktek
diplomasi dapat meliputi keseluruhan proses hubungan luar negeri dan formasi
kebijakan. Disebutkan bahwa diplomasi juga diartikan alat atau mekanisme kebijakan
luar negeri yang dijadikan sebagai tujuan akhir. Hal ini terlihat dari
pertemuan-pertemuan yang sudah dilakukan oleh perwakilan kedua negara.
Penyelesaian kasus batas maritim dapat dilakukan dengan negosiasi atau dengan
bantuan pihak ketiga. Sejauh ini Indonesia dan Malaysia memilih negosiasi
sebagai jalan penyelesaian sengketa. Sejarah membuktikan banyak sengketa antara
Indonesia-Malaysia yang upaya penyelesaiannya ditempuh dengan cara perundingan.
Misalnya mengenai permasalahan mengenai TKI ditempuh dengan cara perundingan,
penyelesaian sengketa perebutan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada awalnya
ditempuh dengan cara perundingan, baik perundingan antar kepala negara, tingkat
menteri pembentukan kelompok kerja sampai pada tingkat perundingan antar
wakil-wakil khusus, pada akhirnya upaya perundingan tersebut tidak berhasil dan
penyelesaian akhir sengketa dilakukan melalui Mahkamah Internasional. Cara ini
terkadang memerlukan waktu yang sangat lama, sebagai contoh perundingan
sengketa Pulau Sipadan-Ligitan memerlukan waktu lebih dari 10 tahun. Hal ini bisa
terjadi karena dalam perundingan ini mungkinkan para pihak tetap bersikeras
dengan pendapatnya dan berusaha untuk mematahkan argumentasi-argumentasi yang
diberikan pihak lawan kadang hal ini dilakukan sebagai implementasi dari
kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, sehingga susah untuk mencari
titk temu penyelesaian. Metode penyelesaian sengketa melalui perundingan
termasuk metode penyelesaian non-yurisdiksional.
Kebijakan pemerintah Indonesia sebelum
terjadi konflik Ambalat memang dapat dikategorikan masih belum optimal dan
belum tepat sasaran. Secara yuridis,
Indonesia diuntungkan oleh adanya pasal 47 UNCLOS bahwa sebagai negara
kepulauan, Indonesia dapat menarik garis di pulau-pulau terluarnya sebagai
patokan untuk garis batas wilayah kedaulatannya. Ada beberapa langkah yang
dapat diambil untuk menyelesaikan sengketa wilayah Ambalat tersebut. Pertama, melalui perundingan bilateral,
yaitu memberi kesempatan kedua belah pihak untuk menyampaikan argumentasinya
tentang wilayah yang disengketakan dalam forum bilateral. Indonesia dan
Malaysia harus secara jelas menyampaikan mana batas wilayah yang diklaim dan
apa landasan yuridisnya. Dalam hal ini, Malaysia tampaknya akan menggunakan
peta 1979 yang kontroversial itu. Sementara Indonesia mendasarkan klaimnya pada
UNCLOS 1982. Jika gagal, maka perlu dilakukan cooling down dan selanjutnya
masuk langkah kedua dengan menetapkan wilayah sengketa sebagai status quo dalam
kurun waktu tertentu. Pada tahap ini, bisa saja dilakukan eksplorasi di Blok
Ambalat sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa saling percaya kedua belah pihak.
Pola ini pernah dijalankan
Indonesia-Australia dalam mengelola Celah Timor. Langkah selanjutnya bisa
memanfaatkan organisasi regional sebagai sarana resolusi konflik, misalnya,
melalui ASEAN dengan memanfaatkan High Council seperti termaktub dalam yang
pernah digagas dalam Deklarasi Bali 1976. Malaysia akan enggan menggunakan
jalur ini karena takut dikeroyok negara-negara ASEAN lainnya. Sebab, mereka
memiliki persoalan perbatasan dengan Malaysia akibat ditetapkannya klaim
unilateral Malaysia berdasarkan peta 1979, seperti Filipina, Thailand, dan
Singapura. Di samping itu, kedua negara juga bisa memanfaatkan jasa baik (good office) negara yang menjadi ketua
ARF (ASEAN Regional Forum) untuk menengahi sengketa ini. Jika langkah tersebut
tidak juga berjalan masih ada cara lain yaitu membawa kasus ke Mahkamah
Internasional (MI) mungkin ada keengganan Indonesia untuk membawa kasus
tersebut ke MI karena pengalaman pahit atas lepasnya Sipadan dan Ligitan.
Tetapi, jika Indonesia mampu menunjukkan bukti yuridis dan fakta-fakta lain
yang kuat, peluang untuk memenangkan sengketa itu cukup besar. Pasal-pasal yang
ada pada UNCLOS 1982 cukup menguntungkan Indonesia, bukti sejarah bahwa wilayah
itu merupakan bagian dari Kerajaan Bulungan, dan penempatan kapal-kapal patroli
TNI-AL adalah modal bangsa Indonesia untuk memenangkan sengketa tersebut.
Penulis beropini, mengenai permasalahan sengketa
di Ambalat tidak akan terlepas dari ekses perebutan pulau Sipadan – Ligitan dan
bila saja Indonesia sejak dahulu lebih memperhatikan masalah perbatasan mungkin
kejadian konflik Ambalat tidak perlu terjadi dan
Indonesia tidak harus bersusah payah menghadapi permasalahan tersebut dan seandainya
sejak awal secara konsisten tetap mengawasi dan mengikuti perkembangan terhadap
konsesi yang telah diberikan kepada beberapa perusahaan minyak asing di Blok
Ambalat. Agar tidak terulang
nasib kekalahan Indonesia dalam kasus Sipadan – Ligitan, maka untuk menetapkan
keabsahan status kawasan Ambalat tidak diperlukan dialog basa-basi. Secara
substansial, posisi Indonesia sudah cukup kuat. Namun dalam praktik harus tetap
pada tingkat kewaspadaan tinggi, mengingat fakta bahwa sejujurnya Indonesia
telah "kecolongan" atas lepasnya pulau Sipadan – Ligitan sebagai
akibat dari suatu "kelalaian". Marilah kita terus menjaga harga
mati NKRI dengan nasionalisme yang cerdas. Menjaga dan melestarikan
sebaik-baiknya wilayah yang seharusnya adalah milik kita.
[1] Kompas.com RI Peringatan Soal Blok Hambalat
http://nasional.kompas.com/read/2008/ 10/21/22413798/ , diakses 2 November 2014
pukul 2015 WIB.
[2] Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2008, hlm 357.
[3] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa International,
Sinar Grafika, Bandung, 2004, hlm. 3.
[5]
W. Poeggel and E. Oeser, Methods of Diplomatic Settlement, dalam
Mohammed Bedjaoui (ed.), International
Law: Achievements and Prospects,
Martinus Nijhoff and UNESCO, Dordrescht, 1991, hlm. 514.
[6]
Peter Behrens, Op.cit., hlm. 19.
Bandingkan dengan pendapat Collier dan Lowe yang menyatakan bahwa this method
of settlement does not involve investigationor application of rules of law,
Collier and Lowe, Op.cit., hlm. 24. 8
W. Poeggel and E. Oeser, Op.cit., hlm. 515.
[7] Ibid.
[8]
Peter Behrens, op.cit., hal.24.
[9]
Ibid, hal. 23.
[10]
Palitha TB Kohona, op.cit., hal 197.
[11]
Haller Trost, R., The Contested Maritime
and Territorial Boundaries of Malaysia An International Law Perspective,
Kluwer Law International, 1998, hlm. 34.
[12]
Pasal 5 Konvensi Hukum Laut (KHL) Tahun 1958 dan Pasal 7 Konvensi Hukum Laut
(KHL) Tahun 1982.
[13]
Arif Havas Oegrosewu, Delimitasi Batas
Maritim dalam Kebijakan Border Diplomacy Indonesia, Lokakarya Hukum Laut
Internasional, Yogyakarta, 2004, hlm. 65.
[14]
Papanicolopulu, A Note on Maritime Delimitation in a Multizonal Context: The Case of
The Mediteranian, Ocean
Development and International Law, 2007, hlm. 381.
[15]
Prescott, V, The Completion Of Marine
Boundary Delimitation between Australia and Indonesia, Geopolitics, Volume
2 No. 2, 1997, hlm. 132-149.
Komentar
Posting Komentar